Jakarta - Lagi soal desa. Sejak Undang-Undang Desa (UU No. 6/2014) diimplementasikan, euforianya tetap berlangsung hingga sekarang. Pernak-pernik persoalannya selalu mewarnai jagad berita. Dan, dari banyaknya persoalan yang ada, permasalahan Pendamping Desa (PD) tetap menjadi berita yang utama.
Dalam tulisan berjudul "Lumbung Emas Itu Bernama Dana Desa" (detikcom, 30 Maret 2016), di bagian akhir penulis menyampaikan agar Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa, PDTT) menyudahi 'konflik' dengan para PD dengan memperpanjang kontrak mereka. Sehingga, energi lembaga kementerian yang usianya masih seumur jagung ini bisa digunakan untuk melakukan pembenahan internal sekaligus menyusun langkah dan strategi menyeluruh dalam melakukan pendampingan desa.
Merumuskan konsep pendampingan; arah dan strateginya, menurut penulis jauh lebih penting, daripada melakukan seleksi ulang terhadap PD berlatar belakang PNPM yang akhirnya menimbulkan polemik yang berkepanjangan hingga sekarang. Sebagai sumbang pemikiran, dalam tulisan ini penulis mencoba mengulas dan melempar diskursus pendampingan yang ideal. Wacana ini diilhami dan diramu dari pengalaman empiris yang penulis alami sewaktu kecil hingga remaja dan pengalaman sebagai konsultan di PNPM.
Pendamping Ideal
Lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan di kota Palembang yang tak perlulah disebutkan namanya di sini, seperti hidup di kawah candradimuka. Kampung ini (biasa disebut lorong), di bawah dan di awal 80-an, adalah sebuah kampung yang sungguh menyeramkan. Banyak orang takut memasuki kampung ini, karena banyaknya 'preman' yang akan mengganggu dan memalak dengan gaya teler walau hanya minum bir atau song hie seloki saja. Melihat orang berkelahi dan berkejaran sambil mengacungkan pedang adalah pemandangan lumrah bagi penulis. Sudah tentu penulis akan lari terbirit-birit bila itu terjadi, saat para preman mulai berkelahi.
Kemudian, datanglah seorang pemuda yang mengontrak rumah dan belakangan menikah dengan warga kampung. Pemuda ini berasal dari tanah Jawa dan bekerja di pabrik pupuk terbesar di Indonesia yang tempatnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal penulis. Dari sisi tampilan, mukanya biasa saja, tidaklah tampan, badannya kecil dan rambutnya keriting, namun si pemuda punya mimik muka dan gestur tubuh yang sangat menyenangkan. Semua orang, besar kecil, tua muda memanggilnya Mas.
Si Mas inilah yang kemudian mengubah wajah kampung menjadi tidak menakutkan. Dia merangkul para pemuda dan menggerakkan mereka dalam wadah Karang Taruna yang dibentuk atas inisiasinya. Tidak ada resistensi dari warga kampung terhadap kehadirannya. Kalaupun ada, itu hanya kecil saja, dari 'preman-preman' yang lambat laun terkikis 'kepremanannya'.
Tidak sulit bagi si Mas untuk mengakarkan diri dan diterima di tengah masyarakat kampung. Mimik muka dan gestur tubuh adalah modal awal dalam pergaulannya dengan warga kampung. Selanjutnya, petatah-petitih yang keluar dari mulutnya menjadi magnet yang menarik para pemuda, orang tua dan bahkan anak-anak kecil mengikutinya. Perkataannya bukanlah sebuah mantra sihir yang menghipnotis warga. Bukan pula sebuah nasihat atau kata-kata panjang dengan menyadur ayat-ayat suci yang akan membuat para pemuda, apalagi preman malas mendengarnya.
Kalimat yang keluar adalah pandangan-pandangan dan petunjuk-petunjuk tentang sosial kemasyarakatan dengan konsep yang sederhana. Dia tidak butuh terlihat pintar saat menyampaikan pandangannya dengan mengguna kata bak pujangga ataupun filsuf. Kata yang meluncur dari bibirnya mengalir renyah sehingga mudah diterima dan dimengerti oleh orang awam sekalipun. Caranya menanamkan nilai-nilai sosial tidak menggurui dan tidak pula mengagitasi. Tuturnya mengajak dan merangkul, bukan meminta apalagi memerintah.
Lantas apa yang terjadi pada kampung kami? Kampung ini menjadi penuh warna, sehati dan sejiwa. Para pemuda sibuk dengan berbagai aktivitas yang menjauhkannya dari judi dan minuman keras (narkoba belum populer saat itu). Para orang tua sukarela melepas anaknya pulang larut malam, karena yakin anaknya melakukan hal yang berguna. Dan yang terpenting, orang-orang berada rela menggelontorkan sejumlah dana untuk membiayai aktivitas para pemuda.
Meski lingkupnya kecil, hanya sebuah Rukun Tetangga (RT) saja, kampung ini pernah tercatat beberapa kali mengadakan event besar dalam bidang seni dan olahraga. Lingkupnya tidaklah tanggung-tanggung; se-Kotamadya Palembang. Sebaliknya, kampung ini juga sering mengikuti event-event besar dan tentu saja memperoleh penghargaan sebagai juara.
Bagi penulis pribadi, beraktivitas di kampung ini telah memberikan dampak yang luar biasa dalam kehidupan penulis selanjutnya. Belasan tahun kemudian, penulis bekerja menjadi tenaga konsultan di program pemberdayaan masyarakat terbesar yang diselenggarakan Pemerintah Republik Indonesia. Teori pemberdayaan terus terang baru penulis pelajari di sini. Teori yang ternyata secara praktik telah penulis alami di masa silam.
Dari pengalaman empiris ini, penulis berkesimpulan bahwa kunci keberhasilan sebuah program pemberdayaan terletak pada aktivitas pendampingan. Bagi penulis, meskipun tidak berlabel pendamping, sosok ideal pendamping kegiatan pemberdayaan masyarakat itu ada pada diri si Mas. Karena, dari banyak teori tentang pemberdayaan yang penulis pahami, salah satu ciri keberhasilan suatu kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah ketika masyarakat dampingan sudah mampu dan berkembang sehingga tidak membutuhkan pendampingan lagi dalam melakukan aktifitasnya. Dan, Si Mas berhasil melakukannya.
Ketika si Mas sudah pergi, Karang Taruna sebagai wadah pemuda berkegiatan tetap hidup dengan berbagai aktivitasnya. Event besar yang penulis sebutkan di atas bahkan banyak terjadi ketika si Mas tidak tinggal di sana lagi.
Kebutuhan Pendamping
Lantas, dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, bagaimanakah seharusnya pendampingan itu dilakukan? Untuk menjawabnya, ada baiknya terlebih dahulu diketahui apa yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat desa menurut Undang-Undang Desa dan aturan turunannya serta praktek pendampingan yang ada sekarang.
Berangkat dari pengertian yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (12) UU Nomor 6/2014, Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa.
Selanjutnya, dalam Peraturan Pelaksanaan UU Desa (PP Nomor 43/2014 dan aturan perubahannya PP Nomor 47/2014) pada Pasal 126 ayat (1) menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat desa bertujuan memampukan desa dalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelola lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan.
Pada ayat (2) dan (3) disebutkan juga bahwa pemberdayaan masyarakat desa dilakukan oleh Pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota) Pemerintah Desa, pihak ketiga, BPD, forum musyawarah desa, lembaga kemasyarakatan desa, lembaga adat desa, dan kelompok kegiatan masyarakat lain yang dibentuk untuk mendukung kegiatan pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.
Dari definisi dan tujuan tersebut di atas, jelaslah bahwa pemberdayaan masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan pihak luar (Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pihak ketiga) dan lembaga/kelompok masyarakat desa sendiri, yang salah satunya dilakukan melalui strategi pendampingan.
Selama ini, di banyak program pemberdayaan masyarakat, strategi pendampingan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan program itu sendiri. Pendampingan melekat pada aktivitas pemberdayaan masyarakat. Karena, mafhum bahwa gerakan pemberdayaan berangkat dari kondisi ketidakberdayaan masyarakat untuk memperjuangkan hidupnya ke arah yang lebih baik.
Peraturan Menteri Desa, PDTT Nomor 3/2015 menegaskan bahwa pendampingan desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi desa. Sedangkan tujuan pendampingan desa meliputi:
(a) meningkatkan kapasitas, efektifitas dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan desa;
(b) meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa yang partisipatif;
(c) meningkatkan sinergi program pembangunan desa antar sektor; dan
(d) mengoptimalkan aset lokal desa secara emansipatoris.
Oleh karena itu pulalah, sebagai unsur penggerak tercapainya keswadayaan dan kemandirian masyarakat, keberadaan pendamping, baik itu pendamping yang berasal dari luar maupun yang berasal dari masyarakat itu sendiri, mutlak diperlukan. Dan, UU Nomor 6/2014 beserta turunannya melegitimasi keberadaan pendamping profesional yang dibedakan menjadi tenaga Pendamping Lokal Desa (PLD), tenaga Pendamping Desa (PD), tenaga pendamping teknis, dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat. Selain itu, keberadaan Kader Desa juga turut dilegalisasi.
Praktik Pendampingan
Pola pendampingan desa dalam rezim UU Desa, meminjam istilah yang tertulis dalam Serial Bahan Bacaan Buku 4 tentang Kader Desa, yang diterbitkan Kementerian Desa, PDTT, pada pengantar tulisan, mengalami perubahan paradigmatis. Dalam praksis kebijakan pemberdayaan masyarakat sebelum berlakunya UU Desa, kader-kader penggerak di desa cenderung dibentuk melalui penugasan dari supradesa, menjadi bagian dari prasyarat proyek, serta bekerja didasarkan atas skema 'petunjuk teknis' yang rinci.
Desa baru paska UU Desa dicirikan oleh adanya pola perubahan pendampingan desa yaitu dari semula berkarakter "kontrol dan mobilisasi-partisipasi", berubah menjadi fasilitasi gerakan pembaharuan desa sebagai komunitas yang mandiri. Berlandaskan asas rekognisi dan subsidiaritas, pendampingan desa mengutamakan kesadaran politik warga desa untuk terlibat aktif dalam urusan di desanya secara sukarela sehingga arah gerak kehidupan di desa merupakan aktualitas kepentingan bersama yang dirumuskan secara musyawarah mufakat dalam semangat gotong royong.
Lebih lanjut disampaikan bahwa pemberdayaan desa sebagai "self governing community" tidak dilakukan oleh Pendamping Desa. Pendampingan desa yang sejati adalah kerja fasilitasi kepada masyarakat desa untuk mampu secara mandiri melakukan pembaharuan dan pembangunan desanya secara mandiri.
Pemberdayaan masyarakat desa yang sejati adalah sebuah bagian dari proses transformasi sosial yang digerakkan oleh warga desa yang mampu hadir sebagai agen pembaharuan yang menggerakkan implementasi UU Desa secara mandiri. Pendamping desa bertugas untuk menemukan, mengembangkan kapasitas, mendampingi para penggerak pembaharuan desa yaitu Kader Desa.
Pertanyaannya, bagaimana praktik pendampingan yang terjadi sekarang? Apakah seperti yang tergambarkan di atas? Tentu pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Penulis tidak ingin terjebak menjawab dengan membandingkan pola pendampingan yang kemudian menegasikan pola lama dan menganggap bahwa pola baru lebih baik sedang pola lama itu buruk adanya. Karena senyatanya, secara praksis penulis menilai belum ada perubahan pola pendampingan yang terjadi sekarang. Dan hal ini wajar, karena pendampingan yang dilakukan belum genap setahun.
Kegiatan pendampingan ini masih mentah untuk dinilai dan dipetik hasilnya. Namun, dari apa yang penulis lihat dan dengar, pola pendampingan yang terjadi sekarang 'tetap bergerak' pada ranah yang lebih administratif yang polanya sangat mirip dengan apa yang terjadi di PNPM.
Setidaknya ada 2 (dua) hal yang mendasari penulis menilai demikian. Pertama, pelaku pendampingan. Sebagaimana diketahui bahwa pelaku funngsional dalam struktur organisasi di PNPM, ada dari tingkat pusat dan kecamatan, begitu juga struktur pendamping dalam Program Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD)--program untuk kegiatan pendampingan Desa sejak UU Desa berlaku. Meskipun nomenklatunya berbeda, sangat kentara struktur organisasi di P3MD mengikuti apa yang ada di PNPM.
Kedua, fokus pendampingan. Walapun di atas kertas mungkin berbeda, namun pada praktiknya pola pendampingan sekarang masih kental rasa PNPM. Dan ini bukan salah pendamping eks PNPM yang dianggap tidak bisa 'move on', tapi karena memang kondisi dan aturan yang mengharuskan demikian.
Jika fasilitator PNPM dicirikan bekerja atas dasar skema petunjuk teknis (PTO) yang rinci, ternyata pendamping profesional desa juga harus bekerja berdasarkan skema yang sama. PTO yang dikenal di PNPM, memang tidak dikenal di rezim UU Desa. Namun, sebagian besar substansi yang diatur dalam PTO ternyata diangkut untuk mengisi substansi Peraturan Menteri yang jumlahnya penulis yakini akan berkembang menjadi banyak, apabila para pemangku kepentingan di pusat tidak bisa mengendalikan syahwat untuk tetap mengibarkan eksistensi dengan membuat aturan-aturan yang harus ditaati desa.
Kebutuhan agar aturan-aturan ditaati tentu akan menggiring para pendamping profesonal desa untuk fokus pada pengawalan kegiatan berdasarkan aturan yang ada.
Permendagri Nomor 114/2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa adalah salah satu contoh peraturan yang menurut hemat penulis duplikasi dari PTO PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM MPd), terutama PNPM MPd Integrasi. Peraturan ini sangat rigid mengatur tahapan pembangunan di desa, dari tahapan perencanaan hingga pemantauan, dengan berbagai aktivitas yang wajib dilaksanakan.
Berbagai aktivitas tersebut harus terekam dan ditulis dalam format-format yang dicontohkan dalam lampiran peraturan menteri ini. Ada banyak sekali format yang wajib diisi yang jumlahnya mencapai angka 56, termasuk format aktivitas pengkajian keadaan Desa yang mengguna alat-alat Participatory Rural Appraisal (PRA).
Sepanjang pengetahuan penulis, aktivitas yang diatur dalam Permendagri tersebut itulah yang menjadi fokus kegiatan pendampingan para pendamping profesional Desa setahun belakangan, tidak beda dengan fokus pendampingan yang juga dilakukan di PNPM MPd dulu.
Pemberdayaan Bukan Jargon Semata
Mengutip pendapat Sutoro Eko dalam buku "Regulasi Baru, Desa Baru" yang diterbitkan oleh Kementerian Desa, PDTT, pendampingan desa mencakup pengembangan kapasitas teknokratis dan pendidikan politik. Kapasitas teknokratis mencakup pengembangan pengetahuan dan keterampilan terhadap para pelaku desa dalam hal pengelolaan perencanaan, penganggaran, keuangan, administrasi, sistem informasi dan sebagainya. Pendidikan politik berorientasi pada penguatan active and critical citizen, yakni warga yang aktif, kritis, peduli, berdaulat dan bermartabat.
Dalam diksi yang lebih sederhana, dari praktik pendampingan yang terjadi selama ini, penulis mencoba membedakan pendampingan dalam dua kegiatan yaitu pengawalan dan pemberdayaan masyarakat. Dua kegiatan pendampingan tersebut selama ini 'dipaksa' berjalan berbarengan dalam satu aktivitas pendampingan. Akibat 'pemaksaan' inilah PNPM MPd terjerembab pada penilaian buruk para kritikus. Mereka menilai dan 'menagih' keberdayaan masyarakat yang dijanjkan sebagai output dan outcome program dengan ciri-ciri yang ideal.
Terlalu luasnya rumusan tugas dan fungsi fasilitator PNPM MPd yang dibarengi dengan rumusan output dan outcome yang harus dicapai, menyebabkan fasilitator PNPM MPd terjebak pada situasi ambigu. Secara konsep, keberdayaan masyarakat adalah situasi yang dikehendaki terjadi melalui proses-proses fasilitasi yang langsung dilakukan oleh fasilitator maupun melalui Pendamping Lokal dan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (Kader Desa).
Tekstual (dalam PTO) maupun verbal (dalam pelatihan) fasilitator dibekali pemahaman bahwa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) hanyalah sebuah stimulan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat. Hanya saja, pada praktiknya, pengawalan terhadap BLM agar tersalurkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat mendominasi aktivitas pendampingan. Apalagi, demi peniliaian terhadap kinerja kementerian, di setiap tahunnya kerap muncul perintah kepada fasilitator untuk mempercepat pencairan dana progam. Demi kinerja itu, merubah aturan pencairan dan/atau mem-'by pass' alur program akhirnya adalah hal yang biasa terjadi.
Pengawalan dana program tentu memerlukan pembuktian, dan PTO secara rigid menyusun segepok formulir administratif yang wajib diisi dan dilaporkan fasilitator. Kesadaran bahwa 90% waktu fasilitator harus digunakan untuk kerja-kerja fasilitasi guna memberdayakan masyarakat dan 10%-nya untuk kerja administratif hanya mengendap di pemahaman para pengelola program. Senyatanya yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, 90% waktu dihabiskan fasilitator untuk urusan administratif, tersisa 10% saja untuk aktifitas pemberdayaan masyarakat.
Dari praksis yang terjadi di PNPM ini, penulis menilai harus ada pembedaan dan pemisahan tugas pengawalan dan pemberdayaan masyarakat. Kementerian Desa, PDTT, selaku pengelola, sudah harus clear sejak awal apa yang menjadi tugas dan fungsi pendamping profesional desa: pengawalan atau pemberdayaan masyarakat?
Naif apabila kerja fasilitasi pemberdayaan masyarakat dibebankan kepada pendamping profesional desa bersamaan dengan tugas pengawalan yang penulis persamakan dengan pendampingan pengembangan kapasitas teknokratis, sebagaimana istilah yang digunakan oleh Sutoro Eko. Tugas pengembangan kapasitas teknokratis yang mencakup pengembangan pengetahuan dan keterampilan terhadap para pelaku desa dalam pengelolaan perencanaan, penganggaran, keuangan, administrasi, sistem informasi dan lain-lain akan sangat rinci sekali dan sangat bersifat administratif.
Bisa dipastikan pendampingan dalam konteks ini tidak bisa dilakukan secara lentur, tidak dapat tergantung pada kondisi dan kebutuhan lokal. Karena, bukan PTO yang mengikat, tapi lebih kuat daripada itu: peraturan pemerintah dan peraturan menteri!
Untuk satu peraturan, misal Permendagri Nomor 114/2014 yang dicontohkan di atas, jika PD atau PLD ditugaskan untuk mengawal pelaksanaan pembangunan Desa yang diatur dalam peraturan ini, sudah dapat dipastikan sebagian besar waktu mereka akan tersita di kegiatan ini. Memang ada fase kegiatan yang mengharuskan adanya proses-proses partisipatif dalam penyusunan perencanaan pembangunan yang diawali dengan kegiatan pengkajian keadaan desa. Proses-proses ini adalah wahana pemberdayaan apabila dapat digunakan dengan baik. Namun, karena waktu yang tersedia tidaklah panjang, penulis mengkhawatirkan bahwa aktifitas yang dilakukan hanya untuk memenuhi tuntutan administratif belaka.
Meskipun tidak sepakat dengan banyaknya aturan yang dibuat untuk mengatur desa, karena akan mereduksi keistimewaan rekognisi dan subsidiaritas yang ditetapkan untuk desa, tapi penulis menilai bahwa pilihan kegiatan pendampingan yang masuk akal sekarang adalah menjadikan PD dan PLD sebagai tenaga pengembangan kapasitas teknokratis.
Pilihan ini memang menyisakan pertanyaan, siapa yang melakukan kerja fasilitasi yang bertugas untuk menemukan, mengembangkan kapasitas, mendampingi para penggerak Kader Desa? Di sinilah menurut penulis menjadi masalah sejak dulu hingga sekarang. Kerja fasilitatif tersebut tidak mudah dilakukan, dan itu sudah disadari dulu dan kini. Kalau sekarang hal itu juga diakui dengan menyebutkan bahwa pendampingan secara fasilitatif memerlukan pelibatan banyak pihak, lantas apa yang beda antara pola pendampingan yang lama dengan pola yang baru sekarang?
Sekali lagi penulis tidak ingin terjebak untuk membandingkannya, karena tidak pas untuk dibandingkan. Yang satu baru bergerak pada tataran konsep, sedangkan yang lain sudah purna. Keduanya mempunyai cita-cita yang sama: menjadikan desa maju, mandiri dan sejahtera. Namun, antara konsep (cita-cita) dan implementasi (senyatanya)--"das sollen" dan "das sein"-- pasti ada bias. Tinggal bagaimana para pengelola kegiatan pendampingan desa menjalankan konsep agar hasilnnya, setidaknya, mendekati kenyataan yang diharapkan.
Jika diakui bahwa kerja-kerja fasilitatif tidak cukup dilakukan oleh aparat negara (dibantu tenaga profesional desa), tantangan tebesar adalah bagaimana meyakinkan banyak pihak: NGO lokal dan nasional, perguruan tinggi, lembaga-lembaga internasional maupun perusahaan-perusahaan swasta mau terlibat dan mendukung upaya-upaya pemberdayaan masyarakat ini.
Satu garis tegas yang penulis pegang, bahwa siapapun yang melakukan kerja-kerja fasilitatif menggerakaan masyarakat harus bebas dari aktivitas administratif. Seperti si Mas, dia harus diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Kehadiran dan aktivitasnya tidak resisten dan menimbulkan gejolak di desa.
Kehadirannya harus mampu dan bisa menumbuhkan serta mengembangkan kegiatan-kegiatan solutif yang mejadi jawaban atas ketidakberdayaan masyarakat dari sisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, prilaku, pengetahuan, keterampilan dan lain-lain. Yang terpenting dan utama, sang pendamping pemberdayaan masyarakat ini harus mampu membawa kegiatan masyarakat dan/atau kelompok dampingannya dilirik dan masuk ke dalam sistem desa. Indikator yang paling sederhana adalah kegiatan tersebut masuk dalam RPJM dan RKP Desa.
Terakhir, sebelum menyelesaikan tulisan ini, penulis mengetahui bahwa telah dilakukan seleksi tenaga pendamping profesional desa untuk mengisi kekosongan karena adanya posisi kosong dan mengisi posisi yang 'harus' ditanggalkan pendamping eks PNPM. Semoga Kementerian Desa, PDTT telah merumuskan dengan matang arah dan strategi pendampingan Desa kedepan yang lebih baik. Karena itu, seleksi ini dilakukan, bukan karena yang "lain". Semoga tidak ada lagi polemik setelah hasil seleksi diumumkan. Salam Pemberdayaan!
*) Widya W Harun adalah Pembelajar Desa, Penulis Novel "Batavia 1936: Mendung di Langit Menteng"
(nwk/nwk).
Sumber : http://news.detik.com/kolom/3222600/atas-nama-dana-desa