
Judul yang menjadi pertanyaan cukup menarik untuk kita
kaji menyambut era baru paska di undangkannya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa,
dan sangat menarik perhatian kita jika mencermati tulisan Gus Ali Yasin
di kompasiana 20 januari 2013 berjudul “Ketika Fasilitator Jadi Pekerjaan Rebutan?,
menyikapi kebutuhan fasilitator sebagai sebuah profesi yang saat ini menjadi
rebutan dalam dunia kerja ber-entitas pemberdayaan...
Bila kita kaji ulang keberadaan fasilitator pada awalnya
lahir karena sebuah kebutuhan masyarakat untuk menghantarkan pelbagai
kepentingan dan masalah yang dihadapi masyarakat dari berbagai keterbatasan
masyarakat itu sendiri. Hadirnya seorang fasilitator di harapkan mampu
menjembatani hambatan untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat, pada
awalnya munculah berbagai upaya masyarakat untuk melakukan menyelesaikan
hambatan-hambatan yang terjadi dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, akan
tetapi tetap saja aspek netralitas untuk menyelesaikan hambatan dan kendala
internal dimasyarakat relatif sulit di tangani oleh komponen yang ada di
masyarakat karena dianggap tidak netral, di sinilah mulai hadir kebutuhan orang
luar untuk hadir menjadi bagian dari permasalahan masyarakat.
Kehadiran pihak diluar masyarakat/ komunitas diharapkan
menjadi fasilitator yang dapat mengakselerasi, memotivasi mendorong berbagai
upaya menyelesaikan berbagai masalah yang menjadi isue pokok mereka.
Kalau kita mengingat-ingat kembali film, sinetron, drama
TVRI di era 80 an sering kali ditayangkan gambaran pengabdian seseorang
di sebuah desa/kampung dengan berbagai masalahnya, seperti hadirnya seorang
dokter di desa dan dihadapkan pada permasalahan lokalita, petualangan kelompok
pramuka ke suatu desa dan berinteraksi dalam masalah masyarakat, kehadiran
seorang tukang insinyur pertanian yang membawa perubahan pertanian di desa,
bahkan terdaparnya seorang narapidana yang tidak sengaja terdampar dan mengabdi
menjadi bagian masyarakat dan menyelesaian masalah bersama masyarakat,
tokoh-tokoh ( dokter,pramuka,tukang insinyur pertanian, narapidana ) dalam
cerita tersebut menggambarkan fungsi sebagai fasilitator masyarakat. Film
Burning Season sebuah contoh sangat inspiratif yang mensoroti perjuangan Chicho
Mendez dalam memperjuangkan hutan dan masyarakatnya, ternyata tidak lepas
dari peran orang luar yaitu sosok wilson pinheiro yang tiada putus asa
mendorong memberikan kesadaran, memperkuat kapasitas masyarakat dalam menangani
permasalahan di hutan amazon.
Tidak Mudah rasanya melibatkan orang luar masuk dalam
lingkaran persoalan, lingkaran kebutuhan masyarakat untuk mencapai tujuan
bersama sesuai kehendak yang dicita-citakannya. Kepedulian itulah awal jiwa
sang pengembara dan sang pejuang desa/hutan/lingkungan, rasa kepedulian
terhadap masalah dan cita-cita yang diinginkan masyarakat telah menggunggah
jiwa-jiwa kejuangan, yang dekat dengan masyarakat, menjadi bagian masyarakat
dan berjuang bersama untuk memperjuangkannya. Itulah sebenarnya seorang
Fasilitator itu lahir.
Sehingga tidak berlebihan fasilitator harus memiliki kredo
sebagaimana petuah Lao Tse di tiongkok 700 Sebelum Masehi yang
mengajarkan kita : “ Pergilah pada mereka, Tinggallah bersama mereka,
Belajarlah dari mereka, Cintai mereka, Mulai dari apa yang mereka tahu, Bangun
dengan apa yang mereka punya, dengan pemimpin-pemimpin yang baik, Ketika
pekerjaan selesai dan tugas telah dituntaskan masyarakat akan mengatakan “Kita
mampu melaksanakan sendiri”. Tidak berlebihan kredo tersebut tetapi itulah
tuntunan bagi seorang fasilitator pemberdayaan Masyarakat.
Seiring dengan makin maraknya program-program pemerintah
sebagaimana tulisan Gus Yasin berjudul “Ketika Fasilitator Jadi Pekerjaan
Rebutan?” maka tidak heran sebagian pengamat mulai mencemaskan seperti kecemasan
mas Dwi Joko Widianto Penggiat Program Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis
Masyarakat di Studio Driya Media, Bandung, Jawa Barat dalam tulisan pada
blog pribadinya yang berjudul Booming Fasilitator “ mencemaskan booming
fasilitator karena lahirnya fasilitator Instan yaitu Fasilitator yang
cakap menggunakan berbagai metode partisipatif tetapi tidak punya hati.
Fasilitator cepat saji yang lebih mirip tentara bayaran untuk disewa dalam
jangka waktu tertentu. Fasilitator yang siap “menjajah” dari satu desa ke
desa lain. Fasilitator yang menganggap masyarakat miskin dan kemiskinan sebagai
masalah yang berada di luar dirinya. Fasilitator yang melayani lembaga mana
saja yang penting dibayar mahal. Fasilitator yang tidak pernah sempat
menginternalisasi proses pendampingan dan pembelajaran bersama masyarakat
sebagai bagian dari hidupnya sendiri. Fasilitator yang menghabiskan waktu
luangnya untuk membaca iklan lowongan kerja fasilitasi dari lembaga-lembaga
internasional. Pendeknya, fasilitator profesi.
Fasilitator saat ini sudah mulai mengejar karir
fasilitator karena ada jenjang profesi karier yang dihadapi saat
ini menjanjikan untuk hal tersebut. Saatnya Kita yang saat ini menjadi
fasilitator profesi mulailah mendalami masyarakat dengan kedalaman hati, karena
malu rasanya banyak fasilitator di komunitas-komunitas/LSM,dll . Memang masih
banyak fasilitator yang bekerja sepi dari pamrih. Kebanyakan dari mereka
bekerja untuk LSM lokal di lokasi-lokasi terpencil hampir tanpa
bayaran. Hati dan keberpihakannya kepada warga miskin yang didampinginya tak
perlu diragukan. Mereka adalah orang-orang setempat yang sudah bekerja jauh
sebelum program-program pemerintah berskala besar itu diluncurkan.
Setelah di tetapkan dan di undangkannya UU no 6 tahun 2014
mulailah muncul berbagai kekhawatiran tentang apakah implementasi UU Desa masih
memerlukan pendampingan, terlebih desa berdasarkan amanah Undang-Undang
pada penjelasan Pasal 72 Ayat (2) yang dimaksud menerangkan alokasi anggaran
yang diperuntukkan langsung untuk desa sebesar 10 persen dari dan di luar dana
transfer daerah, sementara dalam Pasal 72 Ayat (4), disebutkan bahwa desa juga
mendapat sumber dana paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang
diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK),
menurut Budiman Sudjatmiko ( mantan Pimpinan Pansus RUU Desa ) menyebutkan
bahwa rata-rata penerimaan alokasi dana tiap desa di Pulau Jawa, yaitu
Provinsi Jawa Barat akan menerima Rp1,2 miliar, Banten Rp1,1 miliar, Jawa
Tengah Rp1,1 miliar, Daerah Istimewa Yogyakarta Rp1,7 miliar, dan Jawa Timur
Rp1,2 miliar.
Besarnya anggaran yang di kucurkan ke desa-desa banyak
kalangan merasa cemas dengan berbagai alasan yang disampaikan, seperti kualitas
sumber daya manusia dalam sistem tata kelola pembangunan di desa. Menurut
Budiman Sujatmiko UU Desa adalah PNPM Plus, yang berarti bahwa implementasi
tata kelola mengadopsi proses PNPM Mandiri sebagai best practice, yang sudah
terbukti meminimalisir penyimpangan anggaran dengan adanya pendampingan. Pada
UU No 6 tahun 2014 Bab XIV tentang Pembinaan dan pengawasan Pasal 112 pasal 4.
Bahwa pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana pada ayat (3), dilaksanakan
dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan
pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan. Pada penjelasan pasal 112 ayat 4 yang
di maksud dengan “pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia
pendamping dan manajemen.
Lebih lanjut penjelasan tentang pendampingan pada
implementasi UU No 6 tahun 2014, di jabarkan pada Peraturan Pemerintah No 43
tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan UU No 6 tahun 2014 tentang desa pada
pasal 128 s/d 131.
Akankah produk-produk fasilitator atau pendamping yang telah
lahir dari program-program pemerintah seperti PNPM Mandiri siap dan mampu memenuhi
tantangan Undang-undang, sanggup dan mampu kah merubah paradigma pendampingan
untuk pemberdayaan masyarakat dari pendampingan berorientasi proyek ke
pendampingan masyarakat yang berorientasi pada penguatan masyarakat dan
kelembagaan masyarakat desa serta pemerintahan desa untuk membangun
kesejahteraan desa, untuk itu di butuhkan kapasitas pendamping yang berjiwa
kader dan mampu melakukan fungsi-fungsi kader dan kaderisasi dalam mengawal hak
rakyat untuk pemberkuasaan rakyat. Sehingga pada akhir bukan sekedar
fasilitator yang mampu mengawal tahapan kegiatan yang sudah biasa di peroleh
dari pengalaman praktik dalam tahapan-tahapan program yang cenderung eksklusif,
tetapi dibutuhkan kekuatan fasilitator membingkai jejaring seluruh komponen
dalam desa, luar desa untuk mendorong pembangunan desa dan pembangunan kawasan
perdesaan.
Sumber : Kompasiana