Sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 34 bahwa ’’fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara’’. Dalam pasal 27 ayat 2 juga disebutkan ’’tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak’’.
Namun, penerapan konstitusi tersebut ternyata belum maksimal bila kita lihat masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Untuk itu, demi mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin, secara progresif pemerintah harus mengambil langkah penanggulangan dalam jangka panjang. Mengingat, daerah-daerah yang dipenuhi oleh masyarakat miskin masih menyebar di seluruh wilayah Indonesia dari dusun-dusun, tepian hutan, sampai pinggiran pantai yang jauh dari akses informasi. Padahal jika kita perhatikan, Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah. Namun, banyaknya SDA tidak lantas membuat sejahtera. Tapi sebaliknya, fenomena kemiskinan yang menghiasi setiap kehidupan masyarakat Indonesia.
SUDAH begitu banyak program pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Seperti, bantuan operasional sekolah (BOS), beras untuk masyarakat miskin (raskin), bantuan langsung tunai (BLT), rumah tangga sangat miskin (RTSM), PNPMM, serta penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil dengan memberikan bantuan modal atau pembiayaan. Kenyataannya, masalah kemiskinan tidak juga sirna dari negeri ini. Bahkan, Presiden SBY memerintahkan kepada seluruh Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II; lembaga pemerintah non kementerian; serta gubernur, bupati dan wali kota melalui Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan meliputi: (1) Program Pro Rakyat, (2) Keadilan untuk semua (Justice for All), (3) Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium (Millennium Development Goals/MDGs).
Program-program tersebut digulirkan pemerintah karena harapannya dapat menurunkan angka kemiskinan hingga 5 persen pada 2025. Akan tetapi, apa yang ditargetkan pemerintah sepertinya jauh dari panggang api dengan melihat angka kemiskinan masih tercatat cukup fantastis hingga saat ini. Menurut data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tingkat setengah pengangguran terus mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir, dari 29,64 juta orang pada 2005 menjadi 32,8 juta 2010. Pada 2011, jumlah setengah pengangguran diproyeksi LIPI meningkat menjadi 34,32 juta orang. Sementara itu, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada akhir Oktober 2011 mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS) 2007 tercatat 16,58 juta, 15,42 juta (2008), 14,15 juta (2009), 13,30 juta (2010) dan 12,49 juta (2011).
Program PNPMMP
Siapa pun maklum bahwa pemerintah telah berupaya keras menekan angka kemiskinan dan pengangguran. Upaya itu diwujudkan melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan yang tersebar di kementerian dan lembaga negara. Salah satunya adalah program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri perdesaan (PNPMMP). Cara yang gunakan PNPMMP yaitu menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, dengan pemberian bantuan PNPMMP kiranya dapat berdampak positif dan signifikan terhadap pendapatan keluarga. Program ini didukung dengan pembiayaan yang berasal dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), serta dana hibah dari sejumlah lembaga pemberi bantuan di bawah koordinasi Bank Dunia. Pada 2011 lokasi dan alokasi bantuan langsung masyarakat (BLM) PNPMMP mencakup 32 provinsi, 393 kabupaten/kota, dan 5.020 kecamatan dengan total BLM Rp8,2 triliun. Sedangkan untuk tahun depan, pemerintah akan mengalokasikan dana PNPMMP Rp10 triliun dan ditambah dana pendukungnya Rp1 miliar.
Upaya keras pemerintah hingga menaikkan alokasi anggaran tersebut memang sebuah acungan jempol. Namun, apakah anggaran besar sudah maksimal dalam mengurangi angka kemiskinan. Bila melihat data dari LIPI, tentu masih jauh dari harapan. Oleh sebab itu, pemerintah harus menelaah kembali apakah bantuan yang diberikan selama ini telah sesuai dengan sasaran atau malah menghamburkan anggaran negara tanpa ada hasil yang signifikan. Penulis mengkaji. ketidakefektifan penyaluran dana PNPMMP ini karena pengalokasian dana lebih besar untuk infrastruktur (80%) dari pada untuk pemberdayaan masyarakat (20%). Padahal ketika dana PNPMMP lebih besar digunakan untuk infrastruktur seperti membangun jalan, gorong-gorong, dan talut tidak secara otomatis pendapatan masyarakat bertambah melainkan hanya akses masyarakat menjual hasil panennya saja yang lebih mudah, dengan kata lain efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak bersifat langsung dirasakan oleh masyarakat. Padahal, visi PNPMMP yakni tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Melihat anggaran yang akan dikucurkan pada 2012 tidaklah sedikit, maka penulis berharap kiranya dalam pengalokasiannya perlu dirubah, minimal 60% atau bahkan bisa mencapai 80% untuk pemberdayaan masyarakat miskin dan sisanya untuk infrastruktur. Hal ini perlu dilakukan, dengan landasan sampai saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup menonjol. Karena selama ini dengan hanya dialokasikannya 20% untuk pemberdayaan masyarakat miskin, ternyata upaya program penanggulangan kemiskinan masih bersifat top down, temporal (jangka pendek) dan dilakukan secara parsial serta tidak bisa berkelanjutan sehingga efektivitasnya untuk penanggulangan kemiskinan dipandang masih belum optimal. Karenanya perlu adanya metodologi pengambilan kebijakan dengan menjadikan anggaran penanggulangan kemiskinan lebih besar dari infrastruktur, sehingga kebijakan ini bisa lebih partisipatif dan berkelanjutan. Dengan menjadikan masyarakat miskin turut serta secara langsung dalam berbagai aktivitas pengurangan kemiskinan sesuai dengan keahlian dan sumber daya alam yang ada. Karena itu pemerintah harus berpijak pada pengembangan kearifan lokal, sehingga pemberdayaan masyarakat akan benar-benar mengarah pada konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial yang mencerminkan ’’people centered, participatory, empowering, and sustainable’’ (Chambers, 1995. Dalam Surabi, 2004:26) yang melihat beberapa peluang alternatif untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan SDA yang ada dalam membantu perekonomian mereka sendiri. Dan hal itu bisa terlaksana manakala pembagian anggaran diterapkan seperti yang penulis ungkapkan di atas.
Memberi ’’ikan’’ bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi kemiskinan yang sudah sangat sistemik. Mengingat program PNPMMP bukan sekadar membagi-bagikan dana, tetapi di dalamnya terkandung pembelajaran tentang demokratisasi pada akar rumput, membangun dan membudayakan semangat kemitraan, serta berupaya meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat sebagai modal sosial bangsa untuk keluar dari kemelut kemiskinan. Oleh sebab itu, perlu sebuah arahan yang konkret dalam penyaluran anggaran dana PNPMMP. Misalnya, pertama, bila pekerjaan masyarakat seorang nelayan, maka dana PNPMMP dapat digunakan untuk membeli perahu dan membangun rumpun sebagai tempat berkembangnya ikan dengan kedalaman 8 hingga 15 meter secara permanen. Dengan adanya perahu dan rumpun tersebut nelayan akan lebih efektif dan optimal untuk mendapatkan ikan. Sehingga usaha di sektor perikanan mampu menopang pemenuhan kebutuhan hidup keluarga nelayan , sedangkan pemerintah akan mampu mengukur sejauh mana proses modernisasi perikanan mempengaruhi terjadinya polarisasi sosial-ekonomi dan perubahan tingkat kesejahteraan keluarga nelayan.
Kedua, mengarahkan dana PNPMMP untuk menyulap kawasan pesisir pantai sebagai desa wisata, dari progam desa wisata ini, tentunya akan berdampak besar terhadap ekonomi masyarakat yang ada di sekitar lokasi kawasan desa wisata, sebab dari desa wisata yang di bentuk tersebut, masyarakat akan berperan langsung menjadi pelaku usaha dalam bidang pariwisata. Pengalokasian minimal 60% atau 80% untuk merombak rumah masyarakat menjadi tempat penginapan (home stay), dan dengan menyediakan dua kamar bagi para wisatawan lokal maupun mancanegara. Masyarakat yang memiliki tempat penginapan juga bisa langsung menyediakan menu makanan yang dibutuhkan para wisatawan. Selain itu, desa wisata yang dibentuk ini, tentunya akan lebih mudah mendongkrak pendapatan pelaku usaha kecil menengah (UKM) yang berada di daerah tersebut. Karena masyarakat desa wisata bisa melakukan pengembangan diversifikasi usaha baik itu home industry, warung makanan, menyediakan counter HP, warung sembako dan lain-lain. Dengan pengembangan diversifikasi usaha tersebut maka semua yang dibutuhkan para wisatawan sudah bisa dipenuhi oleh masyarakat desa wisata. Selanjutnya dana 40% atau 20% diarahkan untuk membangun infrastruktur seperti jalan untuk menuju kawasan desa wisata.
Ketiga, mengoptimalkan kawasan perkebunan dan persawahan untuk mendongkrak dana tambahan, mengingat kedua kawasan tersebut tidak bisa dirasakan hasilnya oleh masyarakat setiap harinya. Oleh sebab itu, dana PNPMMP kiranya dapat dipergunakan masyarakat untuk membeli ternak kambing atau mengembangkan usaha tawon/lebah madu di kawasan perkebunan. Karena dengan memelihara ternak kambing selain bisa dirasakan dagingnya, kotorannya bisa dimanfaatkan untuk pupuk. Begitu juga tawon/lebah, karena besarnya manfaat madu terhadap kesehatan, sudah dapat dipastikan masyarakat akan mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual madu hasil budi daya. Sedangkan kawasan persawahan bisa dimanfaatkan masyarakat untuk memelihara bebek. Dengan begitu, setiap harinya masyarakat mampu menghasilkan telur, bahkan bisa dibuat menjadi telur asin dengan pengolahan secara home industry.
Jika metode penggunaan dana PNPMMP bersentuhan langsung dengan SDA yang ada seperti contoh tersebut, maka otomatis mampu berdampak langsung dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengingat pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development. Di mana, hal ini sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Pada akhirnya, harus disadari bahwa keberhasilan PNPMMP perlu adanya kerja sama dari semua stakeholder. Baik pemerintah daerah maupun masyarakat. Karena itu, diperlukan sebuah pola kemitraan seperti membangun kawasan desa wisata dengan dinas pariwisata, pengoptimalan kawasan perkebunan dan persawahan dengan dinas peternakan. Begitu juga untuk infrastruktur dapat bermitra dengan dinas pekerjaan umum.
Sungguh membahagiakan jika kebijakan pengalokasian dana PNPMMP dapat diterapkan dengan metode pembagian 80% atau minimal 60% untuk pemberdayaan masyarakat miskin dan 20% untuk infrastruktur. Sehingga, langkah tersebut dijadikan awal yang baik untuk mewujudkan cita-cita dan amanah para pendiri negara dan bapak bangsa. Yaitu menyejahterakan rakyat. Semoga melalui kebijakan dan berdasarkan sumber daya alam serta keahlian masyarakat tersebut, proses pengentasan kemiskinan dapat terwujud. Semoga.
Namun, penerapan konstitusi tersebut ternyata belum maksimal bila kita lihat masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Untuk itu, demi mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin, secara progresif pemerintah harus mengambil langkah penanggulangan dalam jangka panjang. Mengingat, daerah-daerah yang dipenuhi oleh masyarakat miskin masih menyebar di seluruh wilayah Indonesia dari dusun-dusun, tepian hutan, sampai pinggiran pantai yang jauh dari akses informasi. Padahal jika kita perhatikan, Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah. Namun, banyaknya SDA tidak lantas membuat sejahtera. Tapi sebaliknya, fenomena kemiskinan yang menghiasi setiap kehidupan masyarakat Indonesia.
SUDAH begitu banyak program pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Seperti, bantuan operasional sekolah (BOS), beras untuk masyarakat miskin (raskin), bantuan langsung tunai (BLT), rumah tangga sangat miskin (RTSM), PNPMM, serta penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil dengan memberikan bantuan modal atau pembiayaan. Kenyataannya, masalah kemiskinan tidak juga sirna dari negeri ini. Bahkan, Presiden SBY memerintahkan kepada seluruh Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II; lembaga pemerintah non kementerian; serta gubernur, bupati dan wali kota melalui Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan meliputi: (1) Program Pro Rakyat, (2) Keadilan untuk semua (Justice for All), (3) Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium (Millennium Development Goals/MDGs).
Program-program tersebut digulirkan pemerintah karena harapannya dapat menurunkan angka kemiskinan hingga 5 persen pada 2025. Akan tetapi, apa yang ditargetkan pemerintah sepertinya jauh dari panggang api dengan melihat angka kemiskinan masih tercatat cukup fantastis hingga saat ini. Menurut data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tingkat setengah pengangguran terus mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir, dari 29,64 juta orang pada 2005 menjadi 32,8 juta 2010. Pada 2011, jumlah setengah pengangguran diproyeksi LIPI meningkat menjadi 34,32 juta orang. Sementara itu, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada akhir Oktober 2011 mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS) 2007 tercatat 16,58 juta, 15,42 juta (2008), 14,15 juta (2009), 13,30 juta (2010) dan 12,49 juta (2011).
Program PNPMMP
Siapa pun maklum bahwa pemerintah telah berupaya keras menekan angka kemiskinan dan pengangguran. Upaya itu diwujudkan melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan yang tersebar di kementerian dan lembaga negara. Salah satunya adalah program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri perdesaan (PNPMMP). Cara yang gunakan PNPMMP yaitu menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, dengan pemberian bantuan PNPMMP kiranya dapat berdampak positif dan signifikan terhadap pendapatan keluarga. Program ini didukung dengan pembiayaan yang berasal dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), serta dana hibah dari sejumlah lembaga pemberi bantuan di bawah koordinasi Bank Dunia. Pada 2011 lokasi dan alokasi bantuan langsung masyarakat (BLM) PNPMMP mencakup 32 provinsi, 393 kabupaten/kota, dan 5.020 kecamatan dengan total BLM Rp8,2 triliun. Sedangkan untuk tahun depan, pemerintah akan mengalokasikan dana PNPMMP Rp10 triliun dan ditambah dana pendukungnya Rp1 miliar.
Upaya keras pemerintah hingga menaikkan alokasi anggaran tersebut memang sebuah acungan jempol. Namun, apakah anggaran besar sudah maksimal dalam mengurangi angka kemiskinan. Bila melihat data dari LIPI, tentu masih jauh dari harapan. Oleh sebab itu, pemerintah harus menelaah kembali apakah bantuan yang diberikan selama ini telah sesuai dengan sasaran atau malah menghamburkan anggaran negara tanpa ada hasil yang signifikan. Penulis mengkaji. ketidakefektifan penyaluran dana PNPMMP ini karena pengalokasian dana lebih besar untuk infrastruktur (80%) dari pada untuk pemberdayaan masyarakat (20%). Padahal ketika dana PNPMMP lebih besar digunakan untuk infrastruktur seperti membangun jalan, gorong-gorong, dan talut tidak secara otomatis pendapatan masyarakat bertambah melainkan hanya akses masyarakat menjual hasil panennya saja yang lebih mudah, dengan kata lain efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak bersifat langsung dirasakan oleh masyarakat. Padahal, visi PNPMMP yakni tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Melihat anggaran yang akan dikucurkan pada 2012 tidaklah sedikit, maka penulis berharap kiranya dalam pengalokasiannya perlu dirubah, minimal 60% atau bahkan bisa mencapai 80% untuk pemberdayaan masyarakat miskin dan sisanya untuk infrastruktur. Hal ini perlu dilakukan, dengan landasan sampai saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup menonjol. Karena selama ini dengan hanya dialokasikannya 20% untuk pemberdayaan masyarakat miskin, ternyata upaya program penanggulangan kemiskinan masih bersifat top down, temporal (jangka pendek) dan dilakukan secara parsial serta tidak bisa berkelanjutan sehingga efektivitasnya untuk penanggulangan kemiskinan dipandang masih belum optimal. Karenanya perlu adanya metodologi pengambilan kebijakan dengan menjadikan anggaran penanggulangan kemiskinan lebih besar dari infrastruktur, sehingga kebijakan ini bisa lebih partisipatif dan berkelanjutan. Dengan menjadikan masyarakat miskin turut serta secara langsung dalam berbagai aktivitas pengurangan kemiskinan sesuai dengan keahlian dan sumber daya alam yang ada. Karena itu pemerintah harus berpijak pada pengembangan kearifan lokal, sehingga pemberdayaan masyarakat akan benar-benar mengarah pada konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial yang mencerminkan ’’people centered, participatory, empowering, and sustainable’’ (Chambers, 1995. Dalam Surabi, 2004:26) yang melihat beberapa peluang alternatif untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan SDA yang ada dalam membantu perekonomian mereka sendiri. Dan hal itu bisa terlaksana manakala pembagian anggaran diterapkan seperti yang penulis ungkapkan di atas.
Memberi ’’ikan’’ bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi kemiskinan yang sudah sangat sistemik. Mengingat program PNPMMP bukan sekadar membagi-bagikan dana, tetapi di dalamnya terkandung pembelajaran tentang demokratisasi pada akar rumput, membangun dan membudayakan semangat kemitraan, serta berupaya meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat sebagai modal sosial bangsa untuk keluar dari kemelut kemiskinan. Oleh sebab itu, perlu sebuah arahan yang konkret dalam penyaluran anggaran dana PNPMMP. Misalnya, pertama, bila pekerjaan masyarakat seorang nelayan, maka dana PNPMMP dapat digunakan untuk membeli perahu dan membangun rumpun sebagai tempat berkembangnya ikan dengan kedalaman 8 hingga 15 meter secara permanen. Dengan adanya perahu dan rumpun tersebut nelayan akan lebih efektif dan optimal untuk mendapatkan ikan. Sehingga usaha di sektor perikanan mampu menopang pemenuhan kebutuhan hidup keluarga nelayan , sedangkan pemerintah akan mampu mengukur sejauh mana proses modernisasi perikanan mempengaruhi terjadinya polarisasi sosial-ekonomi dan perubahan tingkat kesejahteraan keluarga nelayan.
Kedua, mengarahkan dana PNPMMP untuk menyulap kawasan pesisir pantai sebagai desa wisata, dari progam desa wisata ini, tentunya akan berdampak besar terhadap ekonomi masyarakat yang ada di sekitar lokasi kawasan desa wisata, sebab dari desa wisata yang di bentuk tersebut, masyarakat akan berperan langsung menjadi pelaku usaha dalam bidang pariwisata. Pengalokasian minimal 60% atau 80% untuk merombak rumah masyarakat menjadi tempat penginapan (home stay), dan dengan menyediakan dua kamar bagi para wisatawan lokal maupun mancanegara. Masyarakat yang memiliki tempat penginapan juga bisa langsung menyediakan menu makanan yang dibutuhkan para wisatawan. Selain itu, desa wisata yang dibentuk ini, tentunya akan lebih mudah mendongkrak pendapatan pelaku usaha kecil menengah (UKM) yang berada di daerah tersebut. Karena masyarakat desa wisata bisa melakukan pengembangan diversifikasi usaha baik itu home industry, warung makanan, menyediakan counter HP, warung sembako dan lain-lain. Dengan pengembangan diversifikasi usaha tersebut maka semua yang dibutuhkan para wisatawan sudah bisa dipenuhi oleh masyarakat desa wisata. Selanjutnya dana 40% atau 20% diarahkan untuk membangun infrastruktur seperti jalan untuk menuju kawasan desa wisata.
Ketiga, mengoptimalkan kawasan perkebunan dan persawahan untuk mendongkrak dana tambahan, mengingat kedua kawasan tersebut tidak bisa dirasakan hasilnya oleh masyarakat setiap harinya. Oleh sebab itu, dana PNPMMP kiranya dapat dipergunakan masyarakat untuk membeli ternak kambing atau mengembangkan usaha tawon/lebah madu di kawasan perkebunan. Karena dengan memelihara ternak kambing selain bisa dirasakan dagingnya, kotorannya bisa dimanfaatkan untuk pupuk. Begitu juga tawon/lebah, karena besarnya manfaat madu terhadap kesehatan, sudah dapat dipastikan masyarakat akan mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual madu hasil budi daya. Sedangkan kawasan persawahan bisa dimanfaatkan masyarakat untuk memelihara bebek. Dengan begitu, setiap harinya masyarakat mampu menghasilkan telur, bahkan bisa dibuat menjadi telur asin dengan pengolahan secara home industry.
Jika metode penggunaan dana PNPMMP bersentuhan langsung dengan SDA yang ada seperti contoh tersebut, maka otomatis mampu berdampak langsung dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengingat pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development. Di mana, hal ini sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Pada akhirnya, harus disadari bahwa keberhasilan PNPMMP perlu adanya kerja sama dari semua stakeholder. Baik pemerintah daerah maupun masyarakat. Karena itu, diperlukan sebuah pola kemitraan seperti membangun kawasan desa wisata dengan dinas pariwisata, pengoptimalan kawasan perkebunan dan persawahan dengan dinas peternakan. Begitu juga untuk infrastruktur dapat bermitra dengan dinas pekerjaan umum.
Sungguh membahagiakan jika kebijakan pengalokasian dana PNPMMP dapat diterapkan dengan metode pembagian 80% atau minimal 60% untuk pemberdayaan masyarakat miskin dan 20% untuk infrastruktur. Sehingga, langkah tersebut dijadikan awal yang baik untuk mewujudkan cita-cita dan amanah para pendiri negara dan bapak bangsa. Yaitu menyejahterakan rakyat. Semoga melalui kebijakan dan berdasarkan sumber daya alam serta keahlian masyarakat tersebut, proses pengentasan kemiskinan dapat terwujud. Semoga.
Sumber : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/44249-menyoal-kebijakan-pnpm-mandiri-perdesaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tuliskan Komentar anda di sini......!!!!!!