Para fasilitator dari Forum Komunikasi Fasilitator (FKK) PNPM itu mengenakan seragam PNPM, membawa spanduk bertuliskan tuntutan agar pemerintah memenuhi janjinya membayarkan gaji mereka. Namun mereka tidak diterima Menko Kesra, melainkan pejabat Tim Nasional Percepatan Penanggulan Kemiskinan (TNP2K).
Koordinator FKK PNPM DKI Jakarta, Abul Bahder Maloko, mengatakan, sejak Agustus hingga Oktober 2011 ini, gaji para fasilitator di empat provinsi DKI Jakarta, Banten, seluruh kepulauan Sumatera, dan Kalimantan Barat belum diterima.
"Ini keempat kalinya kita mengalami masalah yang sama," kata Bahder. Tiga tahun ke belakang, para fasilitator PNPM juga mengalami nasib yang sama, yaitu keterlambatan pembayaran gaji. Namun selama tiga tahun itu, penyelesaiannya selesai di tingkat Satuan Kerja Non Vertikal (SNVT) yang mengurusi pembayaran gaji para fasilitator tersebut.
"Ini puncak kekecewaan para fasilitator. Selama ini permasalahan yang serupa selalu berulang. Pemerintah tidak pernah belajar mengantisipasi," tegasnya.
Menurut Bahder, upaya dialog dan komunikasi telah dilakukan oleh pihak FKK PNPM dengan pihak-pihak pemangku kebijakan terkait, terutama dengan SNVT. Namun, hingga saat ini, selalu berujung tanpa membuahkan hasil. "Selalu nihil hasilnya."
Dari dialog-dialog yang telah dilakukan itu, lanjutnya, pihak FKK PNPM baru mengetahui kalau uang yang dibayarkan untuk membayar gaji para fasilitator itu berasal dari pinjaman (loan) asing, yakni Islamic Development Bank (IDB).
"PNPM yang tugasnya jelas memberantas kemiskinan, kenapa uangnya harus dari pinjaman luar negeri. Pertanyaannya, kemana pendapatan asli negara itu itu disalurkan. Kenapa program yang jelas berantas kemiskinan, tapi tidak didukung oleh uang negara," ujarnya mengeluhkan.
Saat ini, gaji para fasilitator PNPM ini berasal dari uang APBN atau APBD. Namun uang yang ada di APBN itu sendiri berasal dari pinjaman luar negeri, yakni IDB dan World Bank. Keterlambatan penggajian itu seringkali disebabkan oleh tidak tersedianya pada DIPA APBN, karena harus menunggu lama persetujuan dari pihak luar negeri, yakni IDB.
Bahder mengaku dapat memaklumi proses yang harus dilalui dengan meminta persetujuan pihak IDB tersebut, namun pihak pemerintah seharusnya dapat mengantisipasi kemungkinan itu.
"Jangan kami yang selalu dikorbankan," ucapnya. Untuk tahun 2011 ini, gaji para fasilitator itu tercover dalam DIPA hanya sampai bulan Mei. Namun kemudian karena ada DIPA revisi akhirnya, para fasilitator bisa terima gaji hingga bulan Juli.
Menurut SNVT, dalam dialog yang dilakukan FKK PNPM beberapa waktu lalu, kata Bahder, bahwa DIPA untuk bulan Agustus sampai Oktober kosong sama sekali, sehingga tidak dapat membayar gaji para fasilitator tersebut.
"Sudah tahu begini, SNVT dan pembuat kebijakan terkait lainnya tidak melakukan langkah antisipasi. Sudah jelas dalam kontrak kami sampai Desember, dan setelah tahu mereka DIPA kosong bulan Agustus sampai sekarang, itu tidak diantisipasi," kritiknya.
Penderitaan Berlapis
Bahder menambahkan, derita gaji tiga bulan yang tidak dibayarkan itu akan terasa lebih berat lagi bila dia mengingat pihak manajemen SNVT yang kerap membayar gaji mereka kerap tidak tepat waktu.
"Di kontrak kerja jelas kami terima gaji setiap tanggal 5 setiap bulannya, namun seringnya gaji baru dibayarkan tanggal 20 setiap bulannya. Ini sangat merugikan kami sebagai fasilitator," kata Bahder.
Tidak hanya itu, mereka juga mengeluhkan besaran gaji yang diterima tidak sesuai dengan prinsip profesionalitas. Saat ini, para fasilitator menerima gaji perbulannya hanya Rp 2,2 juta. "Gaji ini tidak cukup dengan beban kerja setiap harinya yang harus memberikan konsultasi dan pendampingan ke masyarakat terkait program pemberantasan kemiskinan."
Dikatakannya, nasib fasilitator PNPM Mandiri Perkotaan lebih buruk bila dibandingkan dengan fasilitator PNPM di Pedesaan. "Mereka menerima setiap bulannya sudah di atas Rp 3 juta. Padahal beban kerja sama, kami meminta minimal sama atau lebih baik bisa lebih," ujarnya.
Buruknya lagi, kritik dia, pemerintah tidak punya kebijakan jelas dalam hal perlakuan mereka pada fasilitator. Mereka yang sudah menjadi fasilitator sejak empat tahun lalu menerima gaji yang sama dengan fasilitator yang baru bekerja selama setahun. "Seharusnya ada sertifikasi yang menunjukkan grade fasilitator yang punya nilai lebih dari yang didapatnya. Jangan disamakan."
Bahder juga mengeluhkan sistem kerja yang saat ini masih berlaku kontrak. Pemerintah jelas telah melanggar UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membiarkan para pegawai itu tidak memiliki masa depan jelas terkait dengan pekerjaannya.
Tujuh Tuntutan
FKK mendesak pemerintah agar merealisasikan tujuh tuntutannya, yang meliputi: pemerintah harus segera membayarkan gaji 3 bulan, mengubah kebijakan sistem penggajian, segera melakukan penyesuaian/penaikan gaji.
Selain itu, juga segera melakukan sertifikasi fasilitator, meninjau ulang surat perjanjian kontrak, mengubah sumber anggaran penggajian dari yang sebelumnya pinjaman menjadi dana APBN, dan meminta agar seluruh pihak terkait menindaklanjuti tuntutan ini.
Dengan tuntutan itu, FKK PNPM mengaku optimis. "Kalau perjuangan kita harus selalu optimis, walaupun masih ada yang kurang, kita tetap akan berusaha memperbaikinya,' jelasnya.
Bila pertemuan hari ini tidak kunjung menemukan keputusan, pihaknya mengaku akan mengadukan persoalan ini ke DPR dan akan turun ke jalan melakukan demonstrasi secara besar-besaran.
Sumber : http://www.gatra.com/nusantara/jawa/4815-fasilitator-pnpm-tuntut-agung-laksono
Nasib Fasilitator memang begitu, harus sabar dan tetap berjuang
BalasHapus